Wednesday, June 07, 2006

Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Zaytun

Mendidik Sejak Dini

Setelah enam tahun berjalan dan meluluskan santri angkatan pertama, Al-Zaytun terus mengembangkan sayap. Kini telah dibuka Madrasah Ibtidaiyah dan Universitas Al-Zaytun Indonesia.

Jum'at pagi di gedung pembelajaran Abubakar Al Shiddiq tampak pelajar MI berpakaian seraga krem bergaris coklat dengan wajah penuh ceria. Anak-anak belia itu, begitu menaiki tangga, sudah tersedia makanan untuk sarapan pagi bersama dikelasnya masing-masing. Mereka begitu tertib mengambil jatah makanan yang telah disiapkan petugas.

Mereka berdoa terlebih dahulu sebelum makan. Rupanya ana-anak yang masih belia itu merasa sudah terbiasa dengan rutinitas yang dilakukannya setiap pagi itu. Selesai makan, mereka mencuci tanggan di wastafel yang telah disediakan lengkap dengan lap tangannya. Mereka lalu membersihkan meja dan merapikan tempat makan, karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai.

Pukul 06.45 WIB, para siswa ini telah siap kembali di mejanya masing-masing. Sebab pada pukul 07.00 pelajaran jam pertama segera dimulai. Para guru sebelum memasuki ruang kelas juga mengadakan brieding pagi. Santri MI yang belajar di gedung Pembelajaran Abubakar Al Shiddiq terdiri dari kelas IV, V dan VI. Sedangkan untuk santri kelas I, II dan III menempati ruang pembelajaran Ali Ibnu Abi Thalib.

Para santri yang masih anak-anak itu tentunya memerlukan penanganan yang lebih dari santri-santri sebelumnya. Sebab usia mereka masih sangat belia untuk tinggal di asrama dan jauh dari orang tua.

Orang tua ikut Modok

Disadari oleh pihak Al-Zaytun, bahwa usia 6 hingga 11 tahun, masih usia ketergantungan terhadap orang tua. Anak-anak usia itu belum bisa dilepas sepenuhnya. Bukan saja mereka belum mandiri, tapi kasih saying orang tua terkadang masih diasumsikan sebagai keterdekatan secara fisik saja.

Untuk itu, ketika Madrasah Ibtidaiyah ini dibentuk, pihak Al-Zaytun telah mengantisipasi berbagai kemungkinan. Salah satu kemungkinan adalah intensitas orang tua wali murid dalam membesuk anak-anak mereka. Maka, bukan saja Al-Zaytun membuka keleluasaan waktu orang tua berkunjung, bahkan mereka diperbolehkan menginap di ruang asrama santri. Sehingga tak heran bila gedung Ali terlihat beberapa wali santri yang dengan setia menunggui putra dan putrinya hingga beberapa hari.

"Saya sudah seminggu menunggui anak saya. Sekarang waktunya bergilir dengan wali santri lainnya." Kata Ny. Herlina, salah satu wali santri yang dating dari Semarang. Ny. Herlina dan orang tua santri lainnya sepakat untuk bergiliran menunggui anak-anak mereka. "Nanti saya bisa menitipkan anak saya pada orang tua santri lain yang giliran menunggui," tambah Ny. Herlina.

Dengan cara saling bergiliran untuk menunggui anak-anaknya yang masih duduk di MI itu, para orang tua merasa lebih tenang meninggalkan anaknya untuk mondok di Al-Zaytun. Bukan itu saja, Ny. Herlina mengakui dengan cara seperti itu, orang tua santri satu dengan lainnya merasa tambah saling mengenal dan semakin erat hubungannya. Anak-anak juga merasa tenang karena ada orang tua mereka yang menuggi saat belajar.

Kedekatan hubungan ini bukan saja dengan sesame santri, tapi juga dengan civitas akaemika di Al-Zaytun. Sebab, di sela-sela anak-anak mereka belajar, mereka juga membantu di dapur dan kantin Al-Zaytun. Jadi, semangat kekeluargaan seperti inilah yang ingin diciptakan Al-Zaytun dengan para orang tua wali murid.

Mata pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah ini selain berpedoman pada kurikulum Pendidikan Nasional, Kurikulum Departemen Agama, juga muatan local Al-Zaytun. Saat ini santri Madrasah Ibtidaiyah Al-Zaytun berjumlah 2.342 Orang.

Mereka belajar dari hari Senin hingga Jum'at. Beberapa wali santri yang ditemui Berita Indonesia mengaku, puas meyekolahkan anaknya di MI Al-Zaytun. Sebab selain biayanya terjangkau, keamanan anak juga terjamin dan mutu pendidikannya pun sangat baik. Makanan anak terkontrol nilai gizinya. (Sumber Majalah Berita Indonesia -14/2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home