Wednesday, June 07, 2006

Program Magang Menjadikan Lulusan yang Serba Bisa

Universitas Alumnus Universitas Al-Zaytun (UAZ-Indonesia), diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, pada 27 Agustus 2005. Tapi jauh sebelum itu sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang telah lama dipersiapkan. Mulai dari gedung perkuliahan, labotorium pertanian, peternakan, IT, semuanya menyatu dalam satu komplek Al-Zaytun. Meski baru satu tahun dan baru memiliki mahasiswa yang saat ini menginjak semester II, gerak langkah dan aktivitas kampus UAZ-Indonesia terus berpacu dengan waktu dan penuh dengan kompetensi baik antar mahasiswa maupun denga eksponen. Semuanya bahu membahu dan saling mendukung untuk mewujudkan UAZ-Indonesia sebagai universitas riset yang berkala dunia.

Mahasiswa dituntut untuk terus berkarya tidak hanya pada bidang ilmu yang digelutinya, melainkan juga harus mengetahui dan menguasai bidang lain. Keberadaan mahasiswa yang lebih kurang 900 orang, memberikan warna lain dari sebelumnya. Mereka merupakan angkatan pertama yang masuk menjadi satri di Tsanawiyah kelas I enam tahun yang lalu. Selama kurun waktu tersebut mereka benar-benar telah terdidik dan digembleng dengan disiplin yang tinggi. Materi pendidikan memadukan antara pendidikan agama dan umum telah membuat mereka menjadi lulusan yang siap untuk ditempatkan di mana saja.

Untuk memberdayakan setiap jengkal tanah yang ada dari lahan seluas 1.000 Ha, para mahasiswa diberikan kesempatan mengikuti program magang di lahan pertanian. Selain itu mereka juga diberikan kesempatan menjadi guru sandaran di Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang juga lahir bersama UAZ-Indonesia. Tentu sebuah terobosan yang sangat menguntungkan bagi para mahasiswa. Karena jadwal kuliahnya tidak terlalu menyita waktu seperti ketika santri di Tsanawiyah maupun Aliyah. Praktis para mahasiswa punya waktu luang yang bisa dimanfaatkan dibidang lain dengan melakukan magang dan berbagai praktek lapangan.

Program pertama yang telah berjalan adalah pembentukan KTT (Kelompok Tani Terpadu). Saat ini telah dibentuk sepuluh KTT yang masing-masing KTT diketuai oleh para eksponen yang anggotanya terdiri dari mahasiswa P3T yang telah ditiadakan ditambah dengan mahasiswa magang yang berasal dari berbagai fakultas dan jurusan. Misalnya pada KTT-I dibawah bimbingan lansung Syaykh AS Panji Gumilang, yang beranggotakan 49 orang mahasiswa magang angkatan pertama. KTT-II dipimpin oleh Abdul Halim, KTT-III dipimpin oleh H. Imam Supriyanto, KTT-IV dipimpin oleh Abu Sabit dan seterusnya. Program magang ini bukan hanya melibatkan mahasiswa tetapi juga eksponen lainnya seperti guru. Para eksponen dan guru tak heran bila setiap sore mereka pergi ke lahannya masing-masing sesuai dengan lokasi KTT mereka. Syaykh AS Panji Gumilang sendiri, dengan bersepeda begitu rajin ke lahan untuk membimbing anggota KTT-nya. Sehingga Syaykh hamper setiap sore hingga menjelang magrib masih berada di lahan. Mahasiswa magang dipandang berhasil jika sudah menguasai pertanian minimal tiga jenis tananaman.

Iqbal, Ketua mahasiswa magang angkatan pertama yang berasal dari Fakultas pertanian kepada Berita Indonesia mengatakan, program magang tersebut sangat berguna bgai mahasiswa. Itu bukan saja dirasakan oleh mahasiswa yang berasal dari Fakultas Pertanian melainkan juga dari fakultas laini. Seperti Fakultas kedokteran, IT, Peternakan, dan lain sebagainya.

Iqbal mencontohkan, dirinya dan temannya mengaku bahwa dibangku kuliah belum menerima materi, seperti masalah hama, penyakit, serta tanah secara mendalam, dan baru sebatas dasar-dasar bertani. Namun dengan adanya system magang tersebut mereka akhirnya mempelajari dari dasar. Mulai dari bagaimana car mengolah tanah, memilih bibit, menanam yang baik, meyiram, memupuk, memeriksa jenis penyakit dan hama pada setiap pohon tanaman, seta menentukan pestisida apa yang cocok dengan penyakit yang ada.

Tahap pertama mahasiswa angkatan pertama menanam jagung jenis P-2, kacang dan cabe. Khusus jagung, panen perdananya sudah dilakukan dengan hasil yang cukup mengggembirakan. Tak heran bila para mahasiswa-mahasiswa tersebut begitu bersemangat untuk bercocok tanam. Sambil bersendau gurau mereka mengupas dan memotong tangkai jagung yang akan dikirim ke pasar yang tidak lain adalah kichen Al-Zaytun sendiri untuk kebutuhan internal.

Iqbal mengaku, dalam segi pemasaran tidak menemui kendala. Karena kebutuhan di dalam area Al-Zaytun demikain banyak. Dia mencontohkan untuk jagung yang masih muda, jika bunganya ada 3 buah dalam saut batang , maka akan dipilih satu buah yang tumbuhnya subur dan segar untuk dilanjutkan sampai tua. Sedangkan dua lainnya dipanen muda dan hasilnya bisa dibuat sayur.

Sementara hasil penjualannya diserahkan kepada para pengelola. "Alhamdulillah dari 49 orang angkatan pertama yang masuk dalam KTT-I sudha bisa menikmati hasilnya. Hasil dari penjualan jagung kami belikan sepeda sebagai transpotasi dari asrama ke lahan karena lokasinya jauh. Sekarang sudah ada 36 sepeda yang kami beli meski itu dengan cara mencicil dari hasil magang," ujarnya bangga. Pria asal Bandung ini pantas berbangga hati, sebagai ketua kelompok dia mampu mengkoordinasikan teman-temannya dari berbagai disiplin ilmu untuk membuat mereka lebih mandiri. Dengan fasilitas dan dukungan serta bimbingan langsung dari Syaykh AS Panji Gumilang, mereka merasa terpacu dan bertekad untuk mengangkat harkat hidup petani. "Dari dulu petani itu dikenal miskin, kumuh, kumal dan sebaginya. Tapi mulai sekarang kami bertekad membuktikan bahwa dari petani dan pedesaanlah roda perekonomian itu bisa digerakkan, dengan cara berswasembada pangan," ujarnya.

Hal senada juga diakui Deni Abdul Fatah, adal Sukabumi yang juga salah satu peserta magang angktan pertama. Dia ber-pandangan, ke depan kehidupan petani tidak lagi menjadi bahan ejekan karena miskin dan kumuh. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya di Al-Zaytun selama menimba ilmu di yakin kelak akan menjadi orang yang sukses meningkatkan taraf hidup petani.

Bagi Iqbal maupun Deni sama-sama mengaku setelah menyelesaikan program magang ini, mereka akan mendapatkan kesempatan untuk mengelola lahan seluas 5 Ha di area sekeliling Al-Zaytun. Mereka sudah dianggap mampu untuk melakukan bercocok tanam dengan baik dan diberi kepercayaan yang lebih luas lagi. Tentu saja itu merupakan sebuah penghargaan yang luar biasa bagi mereka.

Lika Kusmawati (19), mahasiswi Jurusa Teknologi Informasi (TI) asal Bogor yang juga mengikuti magang bercocok tanam berpendapat, magang pertanian bukan berarti dominasi mahasiswa pertanian saja, tapi secara keseluruhan dari jurusan lain juga agar tahu bagai mana cara bertani. Dia mencontohkan pengetahuannya setelah mengikuti program magang pertanian, misalnya bagaimana memilih bibit cabe hingga menanamnya. Diakuinya untuk bibit cabe yang layak tanam berumur +/- sebulan atau sudah memiliki enam daun, baru layak tanam. Untuk menanam cabe ini setiap labang didanami satu pohon cabe, bila ada yang mati akan disulam kembali supaya merata. Usia cabe keriting agar bisa panen berumur 3-4 bulan, hasil cabe ini merupakan hasil persilangan cabe lain yang memiliki yang memiliki keunggulan lebih pedas dan buahnya lebih besar. "Hasilnya akan dijual ke pasar dan ke dapur Al-Zaytun. Rencananya sesudah selesai panen cabe ini akan ditanam sayur-sayuran seperti jenis kacang-kacangan dan bawang." Ujarnya.

Untuk membagi waktu antara kuliah dan praktek lapangan, mereka harus pandai membagi waktu. Misalnya, kalau tidak ada jadwal kuliah mereka akan pergi ke kebun. Mereka mengadakan kuliah di waktu pagi dan selebihnya bisa ke kebun. Selain mengisi waktu, mereka juga ingin tahu cara menanam padi, jagung dann lain-lain. Pada awalnya mereka merasa geli bila menemukan ulat-ulat bulu itu merayap di tanaman jagung, namun belakangan mereka jadi terbiasa.

Neneng hayatin (20), mahasiswa Fakultas Kedokteran asal Banten menyatakan bahwa kertarikannya untuk ikut tanam padi adalah mencari pengalaman dan ingin mempelajari proses menanam. Dia mengaku bahwa sebelumnya sama sekali belum pernah bercocok tanam, tapi setelah mencoba, dia mengaku bisa melepas penat dan jenuh sewaktu belajar di kelas.

Lalila Rahma (20), mahasiswi asal Cileduk, Jakarta Selatan, mengaku lain lagi. "Kami mendapatkan pengalaman dan ingin mandiri kelak, ujarnya. Keinginannya sejak dulu agar bisa menanam padi kini sudah tercapai dengan adanya program magang di Al-Zaytun.

Hal yang sama juga diakui Andri Gunawan dari Fakultas Teknologi Informasi. Keikut-sertaannya dalam bercocok tanam ini adalah untuk mengetahui tata cara menanam yang benar. Selain itu, dia bisa menyebarkannya cara menanam yang baik dan sudah dikuasainya melalui internet. Sehingga orang lain juga tahu bagaimana tata cara menanam yang baik dan benar.

Program Guru Sandaran

Selain program magang pertanian bagi para mahasiswa-mahasiswi juga dikembangkan program magang pendidik. Mahasiswa-mahasiswi magang ini disebut guru sandaran yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang baru dibuka bersamaan denga Universiatas Al-Zaytun. Status guru sandaran ini diberikan kepada para mahasiswa dan mahasiswi yang mampu melaksanakan tugas pendidikan. Menariknya, mereka digaji.

Jazalah, salah seorang guru sandaran kelas IV-B1, yang ditemui Berita Indonesia mengaku senang bisa mengajar para santri yang masih duduk di bangku MI tersebut. Pemuda calon dokter itu, mengaku ketika pertama kali yayasan membuka peluang bagi mahasiswa untuk menjadi guru sandaran di MI, dia pun segera mendaftarkan diri. Meski kesibukannya menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran UAZ-Indonesia padat, sama sekali tak mengendorkan semangatnya untuk mengajar. Dengan stelan jas hitam dan berpeci hitam pria asal Sidoarjo Jawa Timur tersebut, semangat saat mengajar di kelas.

Meski tidak memiliki spesialisasi jurusan pendidikan dia ternyata mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada adank didiknya. Bahkan mata pelajaran yang diajarkannya adalah Bahasa Arab. Dia mengaku dalam menghadapi anak-anak tentunya tidak sama dengan menghadapi orang dewasa atau siswa setingkat SMP atau pun SMA. Disinilah dibutuhkan perhatian yang serius dan bagaimana seorang guru bisa membuat si anak selalu dalam keadaan senang terutama ketika mereka sedang menerima pelajaran.

"Kami di sini diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan menggali potensi diri. Orang mungkin bertanya mahasiswa Fakultas Kedokteran kok ngajar bahasa arab. Itulah yang terjadi. Kami selama enam tahun di gembleng tidak hanya mendalami satu bidang saja. Kami dituntut menjadi manusia yang berkompetensi dengan menguasai segala bidang ilmu. Walaupun kami punya spesialisasi sendiri dalam memilih jurusan di universitas," ujarnya.

N.A. Hidayatullah, Guru Sandaran Matematika Kelas I MI yang juga mahasiswa Fakultas Kedokteran UAZ-Indonesia mengatakan, mengajar adalah merupakan pengalaman tersendiri. Terlebih lagi yang dididiknya adalah anak-anak yang masih sangat dekat denga orang tuanya. Anak-anak sebesar itu lebih banyak rewel dan masih sulit diatur. Tapi baginya justru dengan demikian dia mendapatkan pengalaman yang cukup berarti dalam mengembangkan diri.

Mia Oktorina (20) asal Jateng (Semarang) guru sandaran bidang IPA untuk kelas IV-C1 dengan jumlah anak didik mencapai 35 orang. Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini mengaku merasa enjoy bila menjalankan tugas tambahannya sebagai guru sandaran. Selain menambah pengalaman, juga memberikan ilmu yang dia dapat selama ini. Dia merupakan santri angkatan pertama, yang sekarang mengikuti system pendidikan satu pipa itu menjadi kelas 13 (tiga belas) atau sama dengan mahasiswa tingkat pertama.

Mereka merasa bersyukur, diberikan kesempatan oleh Al-Zaytun untuk lansung menularkan ilmunya. Disamping itu dari pekerjaan sambilan menjadi guru sandaran juga mendapat gaji yang cukup lumayan untuk meringankan beban orang tua untuk melanjutkan kuliah.

Di samping mengajar, para mahasiswa-mahasiswi ini juga diberikan lahan untuk bercocok tanam. Tak heran bila ada yang kuliah di pagi hari sampai pukul 09.00. Kemudian dari waktu pukul 09.00 – 12.00 kosong mereka akan mengisinya dengan mengajar menjadi guru sandaran. Setelah itu disambung lagi melanjutkan kuliahnya sampai pukul 15.00, setelah itu mulai pukul 15.30 sampai 17.30 mereka manfaatkan waktunya untuk magang bertanam.

Semua program magang maupun menjadi guru sandaran dimaksudkan untuk lebih mematangkan dan meningkatkan kemampuan para lulusan di kemudian hari. Setelah batas magang selesai mereka akan mendapat jatah lahan garapan dari Yayasan 5 Ha tanah per angkatan dari berbagai fakultas. Sekertaris Yayasan Pesantren Indonesia Abdul Halim kepada Berita Indonesia mengatakan, jika mereka nanti tamat tidak akan ada lagi yang punya pikiran kosong. "Mau jadi manusia dimana terserah. Mau mengabdi disini juga boleh ! Jadi dari segi kehidupan mereka sudah mampu, dari segi pengalaman mereka mampu mandiri. Maka, di manapun dia berada, di otaknya itu tidak akan ada tanah yang kosong. Dia akan selalu berpikir untuk memanfaatkan. Di mana saja mereka berada, mereka akan hidup," ujarnya optimis.
(Sumber Majalah Berita Indonesia -14/2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home